GAM Lahir Karena Penindasan dan Pelecehan Tanah Adat
Apabila kita membicarakan tentang gerakan aceh merdeka (GAM)
mau tidak mau, harus bicara kelahiran negara Republik Indonesia. Sebab, dari
situlah kisah gerakan menuntut kemerdekaan dimulai. Lima hari setelah RI
diproklamasikan, Aceh menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap kekuasaan
pemerintahan yang berpusat di Jakarta. Di bawah Residen Aceh, yang juga tokoh
terkemuka, Tengku Nyak Arief, Aceh menyatakan janji kesetiaan, mendukung
kemerdekaan RI dan Aceh sebagai bagian tak terpisahkan. Pada 23 Agustus 1945,
sedikitnya 56 tokoh Aceh berkumpul dan mengucapkan sumpah. ''Demi Allah, saya
akan setia untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia sampai titik darah saya
yang terakhir.'' Kecuali Mohammad Daud Beureueh, seluruh tokoh dan ulama Aceh
mengucapkan janji itu. Pukul 10.00, Husein Naim dan M Amin Bugeh mengibarkan
bendera di gedung Shu Chokan (kini, kantor gubernur). Tengku Nyak Arief
gubernur di bumi Serambi Mekah. Tetapi, ternyata tak semua tokoh Aceh
mengucapkan janji setia. Mereka para hulubalang, prajurit di medan laga.
Prajurit yang berjuang melawan Belanda dan Jepang. Mereka yakin, tanpa RI,
mereka bisa mengelola sendiri negara Aceh. Inilah kisah awal sebuah gerakan
kemerdekaan. Motornya adalah Daud Cumbok. Markasnya di daerah Bireuen.
Tokoh-tokoh ulama menentang Daud Cumbok. Melalui tokoh dan pejuang Aceh, M. Nur
El Ibrahimy, Daud Cumbok digempur dan kalah. Dalam sejarah, perang ini
dinamakan perang saudara atau Perang Cumbok yang menewaskan tak kurang 1.500
orang selama setahun hingga 1946. Tahun 1948, ketika pemerintahan RI berpindah
ke Yogyakarta dan Syafrudin Prawiranegara ditunjuk sebagai Presiden
Pemerintahan Darurat RI (PDRI), Aceh minta menjadi propinsi sendiri. Saat
itulah, M. Daud Beureueh ditunjuk sebagai Gubernur Militer Aceh.
Oleh karena kondisi negara terus
labil dan Belanda merajalela kembali, muncul gagasan melepaskan diri dari RI.
Ide datang dari dr. Mansur. Wilayahnya tak cuma Aceh. Tetapi, meliputi Aceh,
Nias, Tapanuli, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkalis, Indragiri, Riau,
Bengkulu, Jambi, dan Minangkabau. Daud Beureueh menentang ide ini. Dia pun
berkampanye kepada seluruh rakyat, bahwa Aceh adalah bagian RI. Sebagai tanda
bukti, Beureueh memobilisasi dana rakyat.
Setahun kemudian, 1949, Beureueh
berhasil mengumpulkan dana rakyat 500.000 dolar AS. Uang itu disumbangkan utuh
buat bangsa Indonesia. Uang itu diberikan ABRI 250 ribu dolar, 50 ribu dolar
untuk perkantoran pemerintahan negara RI, 100 ribu dolar untuk pengembalian
pemerintahan RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 100 ribu dolar diberikan kepada
pemerintah pusat melalui AA Maramis. Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk
membeli obligasi pemerintah, membiayai berdirinya perwakilan RI di India,
Singapura dan pembelian dua pesawat terbang untuk keperluan para pemimpin RI.
Saat itu Soekarno menyebut Aceh adalah modal utama kemerdekaan RI. Setahun
berlangsung, kekecewaan tumbuh. Propinsi Aceh dilebur ke Propinsi Sumatera
Utara. Rakyat Aceh marah. Apalagi, janji Soekarno pada 16 Juni 1948 bahwa Aceh
akan diberi hak mengurus rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam tak juga
dipenuhi. Intinya, Daud Beureueh ingin pengakuan hak menjalankan agama di Aceh.
Bukan dilarang. Beureueh tak minta merdeka, cuma minta kebebasan menjalankan
agamanya sesuai syariat Islam. Daud Beureueh pun menggulirkan ide pembentukan
Negara Islam Indonesia pada April 1953. Ide ini di Jawa Barat telah diusung
Kartosuwiryo pada 1949 melalui Darul Islam. Lima bulan kemudian, Beureueh
menyatakan bergabung dan mengakui NII Kartosuwiryo. Dari sinilah lantas
Beureueh melakukan gerilya. Rakyat Aceh, yang notabene Islam, mendukung
sepenuhnya ide NII itu. Tentara NII pun dibentuk, bernama Tentara Islam
Indonesia (TII). Lantas, terkenallah pemberontakan DI/TII di sejumlah daerah.
Beureueh lari ke hutan. Cuma, ada tragedi di sini. Pada 1955 telah terjadi
pembunuhan masal oleh TNI. Sekitar 64 warga Aceh tak berdosa dibariskan di
lapangan lalu ditembaki. Aksi ini mengecewakan tokoh Aceh yang pro-Soekarno.
Melalui berbagai gejolak dan perundingan, pada 1959, Aceh memperoleh status
propinsi daerah istimewa. Beureueh merasa dikhianati Soekarno. Bung Karno tidak
mengindahkan struktur kepemimpinan adat dan tak menghargai peranan ulama dalam
kehidupan bernegara. Padahal, rakyat Aceh itu sangat besar kepercayaannya
kepada ulama. Gerilya dilakukan. Tetapi, Bung Karno mengerahkan tentaranya ke
Aceh. Tahun 1962, Beureueh dibujuk menantunya El Ibrahimy agar menuruti
Menhankam AH Nasution untuk menyerah. Beureueh menurut karena ada janji akan
dibuatkan UU Syariat Islam bagi rakyat Aceh (baru terwujud tahun 2001). GAM
lahir di era Soeharto. Saat itu, sedang terjadi industrialisasi di Aceh.
Soeharto benar-benar mencampakkan adat dan segala penghormatan rakyat Aceh.
Efek judi melahirkan prostitusi, mabuk-mabukan, bar, dan segala macam yang
bertentangan dengan Islam dan adat rakyat Aceh. Kekayaan alam Aceh dikuras
melalui pembangunan industri yang dikuasai orang asing melalui restu pusat.
Sementara rakyat Aceh tetap miskin. Pendidikan rendah, kondisi ekonomi sangat
memprihatinkan. Melihat hal ini, Daud Beureueh dan tokoh tua Aceh yang sudah
tenang kemudian bergerilya kembali untuk mengembalikan kehormatan rakyat, adat
Aceh dan agama Islam. Pertemuan digagas tahun 1970-an. Mereka sepakat
meneruskan pembentukan Republik Islam Aceh, yakni sebuah negeri yang mulia dan
penuh ampunan Tuhan. Kini mereka sadar, tujuan itu tak bisa tercapai tanpa
senjata. Lalu diutuslah Zainal Abidin menemui Hasan Tiro yang sedang belajar di
Amerika. Pertemuan terjadi tahun 1972 dan disepakati Tiro akan mengirim senjata
ke Aceh. Zainal tak lain adalah kakak Tiro. Sayang, senjata tak juga dikirim
hingga Beureueh meninggal. Hasan Asleh, Jamil Amin, Zainal Abidin, Hasan Tiro,
Ilyas Leubee, dan masih banyak lagi berkumpul di kaki Gunung Halimun, Pidie. Di
sana, pada 24 Mei 1977, para tokoh eks DI/TII dan tokoh muda Aceh mendirikan
GAM. Selama empat hari bersidang, Daud Beureueh ditunjuk sebagai pemimpin
tertinggi. Sementara Hasan Tiro yang tak hadir dalam pendirian GAM itu ditunjuk
sebagai wali negara. GAM terdiri atas 15 menteri, empat pejabat setingkat
menteri dan enam gubernur. Mereka pun bergerilya memuliakan rakyat Aceh, adat,
dan agamanya yang diinjak-injak Soeharto.
Sejarah Terjadinya Perang Sampit
Suku Dayak dengan Suku Madura
Peristiwa
Sampit ini menjadi sebuah kota yang digambarkan begitu menakutkan karena
pertikaian etnis antara suku dayak dengan suku madura. Masyarakat Dayak adalah
masyarakat tradisional yang memegang teguh harkat dan harga diri. Sejak
"peradaban" masuk ke dalam kehidupan mereka, budaya
"kekerasan" yang dahulu secara turun-temurun mulai ditinggalkan.
Gambaran kasar tentang orang dayak secara umum, Orang Dayak adalah masyarakat
tradisional dan mempunyai sifat pemalu terhadap pendatang. Tidak jarang
dijumpai masyarakat Dayak yang lari bersembunyi dan hanya berani mengintip dari
balik papan dinding rumahnya bila melihat orang asing datang mendekat. Namun,
masyarakat Dayak mempunyai sistem kekerabatan dan persatuan yang kuat antar
masyarakat Dayak di seluruh pulau Kalimantan (termasuk Dayak di wilayah
Malaysia). Banyak sebab yang membuat masyarakat dayak menjadi beringas terhadap
masyarakat madura mereka seakan melupakan asazi manusia, baik sebab langsung
maupun tidak langsung. Masyarakat Dayak di Sampit seperti selalu
"terdesak" dan selalu mengalah dan memang mereka lebih suka memilih
mengalah. Dari kasus pelarangan menambang intan di atas "tanah adat"
mereka sendiri karena dituduh tidak memiliki izin penambangan, sampai kampung
mereka harus berkali-kali berpindah karena harus mengalah dari para penebang
kayu yang terus mendesak mereka makin ke dalam hutan. Sayangnya, kondisi ini
diperburuk lagi oleh ketidakadilan hukum yang seakan tidak mampu menjerat pelanggar
hukum yang menempatkan masyarakat Dayak menjadi korban kasus tersebut. Tidak
sedikit kasus pembunuhan orang dayak (sebagian besar disebabkan oleh aksi
premanisme Dayak-Madura) yang merugikan masyarakat Dayak karena tersangka
(kebetulan orang Madura) tidak bias ditangkap oleh aparat yang
"katanya" penegak hukum.
Dalam keseharian Masyarakat Dayak, kehidupan mereka ternyata jauh dari anggapan kita yang mengira bahwa mereka itu beringas. Mereka ternyata sangat pemalu, menerima para pendatang, dan tetap menjaga keutuhan masyarakatnya baik religi dan ritual mereka. Mereka tidak pernah mengganggu para penebang kayu yang mendesak mereka untuk terus mengalah. Mereka tidak pernah menentang anggota masyarakatnya yang ingin masuk agama yang dibawa oleh orang-orang pendatang. Mereka dengan ringan-tangan membantu masyarakat sekitarnya. Mereka tidak pernah membawa mandau, sumpit, ataupun panah ke dalam kota Sampit untuk "petantang-petenteng".
Etnis madura yang juga punya latar belakang budaya "kekerasan" ternyata menurut masyarakat Dayak dianggap tidak mampu untuk beradaptasi (mengingat mereka sebagai "pendatang"). Sering terjadi kasus pelanggaran "tanah larangan" orang Dayak oleh penebang kayu yang kebetulan didominasi oleh orang Madura. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu "perang antar etnis Dayak-Madura".
Dayak dikenal berilmu tinggi hingga bisa membedakan suku Madura dengan suku-suku lainnya, yang jelas suku-suku lainnya luput dari "serangan beringas" orang Dayak.Banyak yang mengaitkan peristiwa-peristiwa aneh selama "perang" tersebut dengan kepercayaan animisme Dayak (Kaharingan). Banyakbukan saja masyarakat dayak Sampit yang berada di sana, tetapi juga ada 5 suku besar Dayak lainnya dari beberapa propinsi di pulau Kalimantan. Bayangkan, masyarakat Dayak yang sebelumnya bukan masyarakat mayoritas di sana, saat terjadi "perang" jumlah mereka berlipat ganda. Pengungsian besar-besaran masyarakat suku lain (selain Dayak dan Madura) hanya dikarenakan rasa ngeri melihat "perang" dan lumpuhnya perekonomian sampit. Suku Dayak tidak menyerang orang (madura) yang sempat bersembunyi di dalam Masjid atau Gereja. Meski pada intinya suku Madura seperti sangat merasa berkuasa di sana dan sempat ingin mengganti nama menjadi Sampang 2 (salah satu kota besar di Madura). Menurut budayawan Dayak Kalteng,Gimong Awan, memang banyak di antara warga Dayak yang mengikuti 'peperangan' itu adalah pemuda berusia di bawah 30 tahun. Penyesalan setelah membunuh itu muncul, duga Gimong, karena telah habisnya pengaruh 'isian' yang dilakukan oleh orang sakti Suku Dayak. Para pemuda itu, sambungnya, kebanyakan adalah pemuda lugu yang tidak jarang juga pengangguran. Seperti disaksikan oleh banyak warga Sampit, sebelum melakukan penyerangan, beberapa subsuku Dayak memang malakukan ritual. Warga Dayak yang ikut ritual itu setelah diisi, kulitnya dicoba disayat satu per satu. Apabila ada yang luka, berarti ia tidak berbakat untuk mendapatkan 'kekebalan'. Bagi yang digores tidak berdarah, maka ia lulus sebagai inti dari pasukan perang Dayak."Isian itu dilakukan seperti di Pencak Silat semacam Satria Nusantara," ujarnya. Selepas 'isian' habis, tambahnya, mungkin mereka baru menyadari bahwa pembunuhan yang dilakukannya itu dilarang oleh agama yang mereka anut.Tapi, apa yang membuat suku Dayak di Kalteng begitu kalap dalam menghadapi warga Madura? Hampir semua warga dan tokoh Dayak yang ditemui Republika menunjuk perilaku kebanyakan etnis Madura sebagai penyebabnya. H Charles Badarudin, seorang tokoh Dayak di Palangkaraya menceritakan kelakuan warga Madura banyak yang tidak mencerminkan peribahasa "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung". Ia mencontohkan salah satunya dalam soal tanah.Banyak warga Madura yang baru datang ke Kalteng meminjam tanah kepada warga Dayak. Di atas tanah itu kemudian dibangun rumah, atau kadang ditanami sayur mayur. Status tanah itu sebenarnya tetap pinjaman,warga Dayak tak menarik sewa. Setelah beberapa tahun, tanah itu pun diminta karena suatu keperluan. Tapi, bukan tanah yang dikembalikan,namun celurit yang justru dikeluarkan. "Ketika ditunjukkan surat kepemilikan tanah, orang Madura bilang, kamu punya suratnya, saya punya tanahnya," ujar Charles, yang mengaku kemenakan pahlawan Kalteng, Tjilik Riwut. Kasus seperti itu dinilai warga Dayak terlalu sering terjadi. Bukan hanya itu, tak jarang terjadi pembunuhan yang dilakukan warga Madura, namun aparat hanya menangkap sebentar kemudian melepasnya. 'Kenakalan'semacam itu tidak hanya terjadi di perkotaan. Sebagai pendatang, warga Madura juga berani masuk ke daerah pedalaman, seperti wilayah pertambangan. "Ada untungnya orang Madura mengungsi. Saya jadi aman dari perampokan," tutur Surti, pendatang dari Jawa yang tinggal didaerah pertambangan bersama suaminya.Di bidang ekonomi, warga Madura pun menguasai hampir semua sektor.Warga lokal hampir selalu kalah bersaing dalam memperebutkan lahan usaha. Di pelabuhan misalnya, sulit bagi etnis lain untuk menjadi buruh kasar sekalipun, tanpa restu oreng Madura. Konon, yang masuk kelahan mereka tanpa restu, bisa dibunuh.Dominasi di bidang ekonomi itu tampak jelas, karena setelah orang Madura dipaksa mengungsi, warga Sampit dan Palangkaraya kesulitan mencari sembilan kebutuhan pokok (sembako). Pasalnya, tak ada lagi pedagang eceran, karena semuanya mengungsi.Akumulasi permasalahan itu menjadikan warga Dayak sakit hati.Kejadian, 18 Februari 2001 hanyalah pemicu terjadinya perang besar-besaran. Pada hari itu terjadi pembunuhan terhadap empat orang keluarga Matayo di Sampit. Itu membuat marah warga Madura. Mereka mencari pembunuhnya yang diduga bersembunyi di rumah Timil, seorang warga Dayak. Mereka mengepung rumah keluarga Timil itu. Dalam situasi panas itu, apalagi warga Dayak dari rumah Timil keluar juga memegang mandau, aparat kepolisian datang. Mereka kemudian menangkap 38 tersangka dari suku Dayak yang diduga melakukan pembunuhan terhadap keluarga Matayo.Puas? Ternyata belum. Warga Madura tetap melampiaskan kemarahannya.Mereka mendatangi rumah Sengan, warga Dayak yang masih ada hubungan darah dengan Timil. Mereka bahkan membakar rumah itu. Naas bagi Timil.Dia bersama anak dan cucunya tewas terpanggang. Kemarahan warga Madura belum berhenti. Hari itu, mereka setidaknya melakukan pembakaran terhadap 14 rumah dan 10 kendaraan bermotor. Sampai esok harinya, 19 Februari 2001, warga Madura menguasai kota Sampit. Mereka memburu warga Dayak. Mereka keliling kota dengan membawa clurit, baik dengan jalan kaki maupun memakai kendaraan bermotor. Ada beberapa spanduk yang dipasang, di antaranya "Sampit, kota Sampang II".Tiga orang Dayak tewas dalam insiden ini. Pengungsian warga Dayak,Jawa, Banjar, dan Tionghoa mulai terjadi. Rumah jabatan bupati Kotawaringin Timur mulai dipadati pengungsi. Ribuan orang mengungsi ke Jawa dengan KM Binaiya. Entah siapa yang mengontak, mulai 20 Februari 2001, warga Dayak dari luar kota Sampit, termasuk dari pedalaman,menyerbu Sampit. Pertempuran sengit pun terjadi. Warga Madura keteter.Warga Dayak membakar dan merusak rumah warga Madura. Penghuninya pun diburu. Pemenggalan kepala mulai banyak terjadi. Warga Dayak ganti menguasai kota.Esoknya (21/2), perburuan Dayak masih terjadi. Malah wilayah pencarian kian meluas, keluar dari kota Sampit. Sementara perlawanan warga keturunan Madura kian melemah. Mereka lebih memilih mengungsi, atau lari ke hutan. Kantor Pemda setempat menjadi pilihan pengungsian yang dipandang paling aman. Hari-hari berikutnya, langkah 'pembersihan'masih terjadi. Baru pada Rabu (28/2) situasi berangsur tenang, meski tetap saja ada aksi pembakaran di sana sini. Pun, jejak kerusuhan berupa mayat --sebagian besar tanpa kepala-- masih berserakan disungai-sungai. Bau anyir mayat menyengat hidung.Warga Sampit meyakini korban tewas tanpa kepala mencapai lebih dari 1.000 orang. Dalam budaya Dayak memang dikenal istilah ngayau,eksekusi dengan memenggal kepala lawan. "Budaya itu sebenarnya telah dihentikan dengan adanya perjanjian Tumbang Anoy (letaknya kira-kira 300 KM timur Palangkaraya) pada 1884," ungkap Gimong.Dalam sejarah Dayak pun, kata dia, jarang sekali ada ngayau yang mencapai angka ratusan atau bahkan ribuan. Tapi, ujar Gimong, pernah ada satu ngayau besar-besaran sebelum peradaban Islam menyentuh Kalimantan. "Kejadian itu disebut Asang Paking Pakang," tuturnya.Dalam kejadian itu, warga Dayak di hulu sungai-sungai besar menyerang secara besar-besaran warga Dayak di hilir sungai. "Beribu-ribu pasukan Dayak hulu, seperti tikus, melakukan penyerangan," kisah Gimong."Dayak hulu merasa kelakuan Dayak hilir sudah keterlaluan. Mereka sakit hati karena banyak anggota kelompok mereka yang dikayau."Dalam penyerangan itu, tak peduli anak-anak atau perempuan, di- kayau.Asang memang berarti pembunuhan berskala besar. Ketemu perahu,dihancurkan. Dapat ternak juga di sikat. Bahkan, dapat kuburan pun mereka bongkar dan hancurkan. Melihat pola dan jumlah korban dalam tragedi terakhir di Sampit, Gimong menilai mirip dengan Asang Paking Pakang. "Tragedi Sampit adalah Asang Paking Pakang jilid dua,"katanya. Tapi, dalam pandangannya, kejadian itu adalah kemunduran 100 tahun bagi suku Dayak. thonthowi djauhari.
Dalam keseharian Masyarakat Dayak, kehidupan mereka ternyata jauh dari anggapan kita yang mengira bahwa mereka itu beringas. Mereka ternyata sangat pemalu, menerima para pendatang, dan tetap menjaga keutuhan masyarakatnya baik religi dan ritual mereka. Mereka tidak pernah mengganggu para penebang kayu yang mendesak mereka untuk terus mengalah. Mereka tidak pernah menentang anggota masyarakatnya yang ingin masuk agama yang dibawa oleh orang-orang pendatang. Mereka dengan ringan-tangan membantu masyarakat sekitarnya. Mereka tidak pernah membawa mandau, sumpit, ataupun panah ke dalam kota Sampit untuk "petantang-petenteng".
Etnis madura yang juga punya latar belakang budaya "kekerasan" ternyata menurut masyarakat Dayak dianggap tidak mampu untuk beradaptasi (mengingat mereka sebagai "pendatang"). Sering terjadi kasus pelanggaran "tanah larangan" orang Dayak oleh penebang kayu yang kebetulan didominasi oleh orang Madura. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu "perang antar etnis Dayak-Madura".
Dayak dikenal berilmu tinggi hingga bisa membedakan suku Madura dengan suku-suku lainnya, yang jelas suku-suku lainnya luput dari "serangan beringas" orang Dayak.Banyak yang mengaitkan peristiwa-peristiwa aneh selama "perang" tersebut dengan kepercayaan animisme Dayak (Kaharingan). Banyakbukan saja masyarakat dayak Sampit yang berada di sana, tetapi juga ada 5 suku besar Dayak lainnya dari beberapa propinsi di pulau Kalimantan. Bayangkan, masyarakat Dayak yang sebelumnya bukan masyarakat mayoritas di sana, saat terjadi "perang" jumlah mereka berlipat ganda. Pengungsian besar-besaran masyarakat suku lain (selain Dayak dan Madura) hanya dikarenakan rasa ngeri melihat "perang" dan lumpuhnya perekonomian sampit. Suku Dayak tidak menyerang orang (madura) yang sempat bersembunyi di dalam Masjid atau Gereja. Meski pada intinya suku Madura seperti sangat merasa berkuasa di sana dan sempat ingin mengganti nama menjadi Sampang 2 (salah satu kota besar di Madura). Menurut budayawan Dayak Kalteng,Gimong Awan, memang banyak di antara warga Dayak yang mengikuti 'peperangan' itu adalah pemuda berusia di bawah 30 tahun. Penyesalan setelah membunuh itu muncul, duga Gimong, karena telah habisnya pengaruh 'isian' yang dilakukan oleh orang sakti Suku Dayak. Para pemuda itu, sambungnya, kebanyakan adalah pemuda lugu yang tidak jarang juga pengangguran. Seperti disaksikan oleh banyak warga Sampit, sebelum melakukan penyerangan, beberapa subsuku Dayak memang malakukan ritual. Warga Dayak yang ikut ritual itu setelah diisi, kulitnya dicoba disayat satu per satu. Apabila ada yang luka, berarti ia tidak berbakat untuk mendapatkan 'kekebalan'. Bagi yang digores tidak berdarah, maka ia lulus sebagai inti dari pasukan perang Dayak."Isian itu dilakukan seperti di Pencak Silat semacam Satria Nusantara," ujarnya. Selepas 'isian' habis, tambahnya, mungkin mereka baru menyadari bahwa pembunuhan yang dilakukannya itu dilarang oleh agama yang mereka anut.Tapi, apa yang membuat suku Dayak di Kalteng begitu kalap dalam menghadapi warga Madura? Hampir semua warga dan tokoh Dayak yang ditemui Republika menunjuk perilaku kebanyakan etnis Madura sebagai penyebabnya. H Charles Badarudin, seorang tokoh Dayak di Palangkaraya menceritakan kelakuan warga Madura banyak yang tidak mencerminkan peribahasa "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung". Ia mencontohkan salah satunya dalam soal tanah.Banyak warga Madura yang baru datang ke Kalteng meminjam tanah kepada warga Dayak. Di atas tanah itu kemudian dibangun rumah, atau kadang ditanami sayur mayur. Status tanah itu sebenarnya tetap pinjaman,warga Dayak tak menarik sewa. Setelah beberapa tahun, tanah itu pun diminta karena suatu keperluan. Tapi, bukan tanah yang dikembalikan,namun celurit yang justru dikeluarkan. "Ketika ditunjukkan surat kepemilikan tanah, orang Madura bilang, kamu punya suratnya, saya punya tanahnya," ujar Charles, yang mengaku kemenakan pahlawan Kalteng, Tjilik Riwut. Kasus seperti itu dinilai warga Dayak terlalu sering terjadi. Bukan hanya itu, tak jarang terjadi pembunuhan yang dilakukan warga Madura, namun aparat hanya menangkap sebentar kemudian melepasnya. 'Kenakalan'semacam itu tidak hanya terjadi di perkotaan. Sebagai pendatang, warga Madura juga berani masuk ke daerah pedalaman, seperti wilayah pertambangan. "Ada untungnya orang Madura mengungsi. Saya jadi aman dari perampokan," tutur Surti, pendatang dari Jawa yang tinggal didaerah pertambangan bersama suaminya.Di bidang ekonomi, warga Madura pun menguasai hampir semua sektor.Warga lokal hampir selalu kalah bersaing dalam memperebutkan lahan usaha. Di pelabuhan misalnya, sulit bagi etnis lain untuk menjadi buruh kasar sekalipun, tanpa restu oreng Madura. Konon, yang masuk kelahan mereka tanpa restu, bisa dibunuh.Dominasi di bidang ekonomi itu tampak jelas, karena setelah orang Madura dipaksa mengungsi, warga Sampit dan Palangkaraya kesulitan mencari sembilan kebutuhan pokok (sembako). Pasalnya, tak ada lagi pedagang eceran, karena semuanya mengungsi.Akumulasi permasalahan itu menjadikan warga Dayak sakit hati.Kejadian, 18 Februari 2001 hanyalah pemicu terjadinya perang besar-besaran. Pada hari itu terjadi pembunuhan terhadap empat orang keluarga Matayo di Sampit. Itu membuat marah warga Madura. Mereka mencari pembunuhnya yang diduga bersembunyi di rumah Timil, seorang warga Dayak. Mereka mengepung rumah keluarga Timil itu. Dalam situasi panas itu, apalagi warga Dayak dari rumah Timil keluar juga memegang mandau, aparat kepolisian datang. Mereka kemudian menangkap 38 tersangka dari suku Dayak yang diduga melakukan pembunuhan terhadap keluarga Matayo.Puas? Ternyata belum. Warga Madura tetap melampiaskan kemarahannya.Mereka mendatangi rumah Sengan, warga Dayak yang masih ada hubungan darah dengan Timil. Mereka bahkan membakar rumah itu. Naas bagi Timil.Dia bersama anak dan cucunya tewas terpanggang. Kemarahan warga Madura belum berhenti. Hari itu, mereka setidaknya melakukan pembakaran terhadap 14 rumah dan 10 kendaraan bermotor. Sampai esok harinya, 19 Februari 2001, warga Madura menguasai kota Sampit. Mereka memburu warga Dayak. Mereka keliling kota dengan membawa clurit, baik dengan jalan kaki maupun memakai kendaraan bermotor. Ada beberapa spanduk yang dipasang, di antaranya "Sampit, kota Sampang II".Tiga orang Dayak tewas dalam insiden ini. Pengungsian warga Dayak,Jawa, Banjar, dan Tionghoa mulai terjadi. Rumah jabatan bupati Kotawaringin Timur mulai dipadati pengungsi. Ribuan orang mengungsi ke Jawa dengan KM Binaiya. Entah siapa yang mengontak, mulai 20 Februari 2001, warga Dayak dari luar kota Sampit, termasuk dari pedalaman,menyerbu Sampit. Pertempuran sengit pun terjadi. Warga Madura keteter.Warga Dayak membakar dan merusak rumah warga Madura. Penghuninya pun diburu. Pemenggalan kepala mulai banyak terjadi. Warga Dayak ganti menguasai kota.Esoknya (21/2), perburuan Dayak masih terjadi. Malah wilayah pencarian kian meluas, keluar dari kota Sampit. Sementara perlawanan warga keturunan Madura kian melemah. Mereka lebih memilih mengungsi, atau lari ke hutan. Kantor Pemda setempat menjadi pilihan pengungsian yang dipandang paling aman. Hari-hari berikutnya, langkah 'pembersihan'masih terjadi. Baru pada Rabu (28/2) situasi berangsur tenang, meski tetap saja ada aksi pembakaran di sana sini. Pun, jejak kerusuhan berupa mayat --sebagian besar tanpa kepala-- masih berserakan disungai-sungai. Bau anyir mayat menyengat hidung.Warga Sampit meyakini korban tewas tanpa kepala mencapai lebih dari 1.000 orang. Dalam budaya Dayak memang dikenal istilah ngayau,eksekusi dengan memenggal kepala lawan. "Budaya itu sebenarnya telah dihentikan dengan adanya perjanjian Tumbang Anoy (letaknya kira-kira 300 KM timur Palangkaraya) pada 1884," ungkap Gimong.Dalam sejarah Dayak pun, kata dia, jarang sekali ada ngayau yang mencapai angka ratusan atau bahkan ribuan. Tapi, ujar Gimong, pernah ada satu ngayau besar-besaran sebelum peradaban Islam menyentuh Kalimantan. "Kejadian itu disebut Asang Paking Pakang," tuturnya.Dalam kejadian itu, warga Dayak di hulu sungai-sungai besar menyerang secara besar-besaran warga Dayak di hilir sungai. "Beribu-ribu pasukan Dayak hulu, seperti tikus, melakukan penyerangan," kisah Gimong."Dayak hulu merasa kelakuan Dayak hilir sudah keterlaluan. Mereka sakit hati karena banyak anggota kelompok mereka yang dikayau."Dalam penyerangan itu, tak peduli anak-anak atau perempuan, di- kayau.Asang memang berarti pembunuhan berskala besar. Ketemu perahu,dihancurkan. Dapat ternak juga di sikat. Bahkan, dapat kuburan pun mereka bongkar dan hancurkan. Melihat pola dan jumlah korban dalam tragedi terakhir di Sampit, Gimong menilai mirip dengan Asang Paking Pakang. "Tragedi Sampit adalah Asang Paking Pakang jilid dua,"katanya. Tapi, dalam pandangannya, kejadian itu adalah kemunduran 100 tahun bagi suku Dayak. thonthowi djauhari.
Miliki
Pabrik Senjata dan Berlatih di Libia
Setelah didirikan, GAM mendapat
dukungan rakyat. Hubungan dengan dunia internasional terus dibangun. Kekuatan
bersenjata pun disusun. Berapa anggota GAM, bagaimana kekuatannya, jaringan
internasionalnya, dan dananya? MASIH ingat deadline maklumat pemerintah 12 Mei
2003 lalu. Hingga batas waktu ultimatum, pemerintah tak juga mengeluarkan
keputusan sebagai tanda awal operasi militer ke Aceh. Konon, saat itu
pemerintah menghitung kekuatan TNI di sana. Ada kekhawatiran, TNI bakal dilibas
GAM melalui perang gerilya. Secara tidak langsung, kabar ini menyiratkan
ketangguhan kekuatan bersenjata GAM. Sesungguhnya jumlah anggota GAM itu
sebagian besar rakyat Aceh. Filosofinya begini. Jika rakyat terus ditindas,
maka seluruh rakyat itu akan bangkit melawan. Dan, hal seperti inilah yang
terjadi di bumi Serambi Mekah itu. Perlawanan GAM mendapat simpati luar biasa
dari rakyat Aceh. Rakyat yang lama ternista dan teraniaya. Sambil berkelakar,
Panglima Tertinggi GAM dan Wakil Wali Negara Aceh Tengku Abdullah Syafei (alm)
sempat mengatakan, bayi-bayi warga Aceh telah disediakan senjata AK-47 oleh
GAM. Mereka akan dididik dan dilatih sebagai tentara GAM dan segera pergi
berperang melawan TNI. Sejatinya, basis perjuangan GAM dilakukan dalam dua
sisi, diplomatik dan bersenjata. Jalur diplomasi langsung dipimpin Hasan Tiro
dari Swedia. Opini dunia dikendalikan dari sini. Sementara basis militer
dikendalikan dari markasnya di perbatasan Aceh Utara-Pidie. Seluruh kekuatan
GAM dioperasikan dari tempat ini. Termasuk, seluruh komando di sejumlah wilayah
di Aceh dan di beberapa negara seperti Malaysia, Pattani (Thailand), Moro
(Filipina), Afghanistan, dan Kazakhstan. Tetapi, kerap GAM menipu TNI dengan
cara mengubah-ubah tempat markas utamanya. Di seluruh Aceh, GAM membuka tujuh
komando, yaitu komando wilayah Pase Pantebahagia, Peurulak, Tamiang, Bateelik,
Pidie, Aceh Darussalam, dan Meureum. Masing-masing komando dibawahi panglima
wilayah.
Sejak berdiri tahun 1977, GAM dengan
cepat melakukan pendidikan militer bagi anggota-anggotanya. Setidaknya tahun
1980-an, ribuan anak muda dilatih di camp militer di Libia. Saat itu, Presiden
Libia Mohammar Khadafi mengadakan pelatihan militer bagi gerakan separatis dan
teroris di seluruh dunia. Hasan Tiro berhasil memasukkan nama GAM sebagai salah
satu peserta pelatihan. Pemuda kader GAM juga berhasil masuk dalam latihan di
camp militer di Kandahar, Afghanistan pimpinan Osama bin Laden. Gelombang
pertama masuk tahun 1986, selanjutnya terus dilakukan hingga akhir 1990. Selama
DOM, pengiriman tersendat. Tetapi, angkatan 1995-1998 sudah mendapat latihan
intensif. Ketika DOM dicabut, prajurit dari Libia ini ditarik ke Aceh.
Jumlahnya sekitar 5.000 personel dan dijadikan pasukan elite GAM (semacam
Kopassus). Jalur ke Libia memang agak mudah. Dari Aceh, para pemuda Aceh itu
dikirim melalui Malaysia lalu menuju Libia. Jalur lainnya dari Aceh lalu ke
Thailand menuju Afghanistan dan melanjutkan ke Libia. Dari jalur ketiga, yakni
melalui Aceh menuju Filipina Selatan dan ke Libia. Tiga jalur penting ini
hampir selalu lolos dari jangkauan petugas imigrasi, polisi, dan patroli
TNI-AL. Di era Syafei hingga sekarang dipegang Muzakkir Manaf, personel GAM
terdiri atas pasukan tempur, intelijen, polisi, pasukan inong baleh (pasukan
janda korban DOM) dan karades (pasukan khusus) serta Lasykar Tjut Nyak Dien
(tentara wanita). Wakil Panglima GAM Wilayah Pase Akhmad Kandang (alm) pernah
mengklaim, jumlah personel GAM 70 ribu. Anggota GAM 490 ribu. Jumlah itu
termasuk jumlah korban DOM 6.169 orang. Sumber resmi Mabes TNI cuma menyebut
sekitar enam ribu orang. Mantan Menhan Machfud MD menyebut 4.869 personel. Dari
jumlah itu, 804 di antaranya dididik di Libia dan 115 dilatih di Filipina --
Moro. Persediaan senjatanya terdiri atas pistol, senapan, GLM, mortir, granat,
pelontar granat, pelontar roket, RPG, dan bom rakitan. Jenis senapan di
antaranya AK-47, M-16, FN, Colt, dan SS-1. Dari mana persenjataan itu
diperoleh? Ada jalur internasional yang menyuplainya. Sejumlah negara disebut
antara lain, gerakan separatis Pattani Thailand, Malaysia, gerakan Islam Moro
Filipina, eks pejuang Kamboja, gerakan separatis Sikh India, gerakan Elan
Tamil, dan Kazhakstan serta Libia dan Afghanistan. GAM juga membuat pabrik
senjata. Di antaranya, di Kreung Sabe, Teunom -- Aceh Barat -- dan di
Lhokseumawe dan Nisau-Aceh Utara serta di Aceh Timur. Jenis senjata yang
diproduksi seperti bom, amunisi, senjata laras panjang dan pendek, pabrik
senjata ini bisa dibongkar pasang sesuai dengan kondisi medan. Jika akan
diserbu TNI, pabrik senjata telah dipindahkan ke daerah lain. Para ahli senjata
disekolahkan ke Afghanistan dan Libia.
Senjata-Senjata
GAM juga berasal dari Jakarta dan Bandung.
Pasar gelap senjata ini dilakukan oleh oknum TNI
dan Polri yang haus kekayaan. Bagi GAM, asal ada senjata, uang tidak masalah.
Sebab, faktanya GAM ternyata memiliki sumber dana yang sangat besar. Jumlah
pembelian ke oknum TNI/Polri ini bisa trilyunan rupiah. Sebuah penggerebekan
tahun 2000 oleh Polda Metro Jaya sempat menemukan kuitansi Rp 3 milyar untuk
pembelian senjata GAM di pasar gelap dari oknum TNI. Kini, senjata yang
dimiliki TNI juga dimiliki GAM. Yang tak dimiliki GAM adalah senjata berat.
Sebab, sifatnya yang lamban. Prinsip GAM, senjata itu harus memiliki mobilitas
tinggi, mudah dibawa ke mana-mana. Sebab, strategi perangnya yang hit and run.
GAM bahkan mengaku memiliki senjata yang lebih modern daripada TNI. Misalnya,
senjata otomatis yang dimiliki para karades. Senjata otomatis, berbentuk kecil
mungil itu bisa tahan berhari-hari dalam air. Anggota karades inilah yang biasa
menyusup ke kota-kota dan menyergap anggota TNI/Polri yang teledor. Membeli
senjata tentu dengan uang melimpah. Sebab, harganya yang tak murah. Lantas,
dari mana mereka mendapatkan dana? GAM memiliki donatur tetap dari
pengusaha-pengusaha Aceh yang sukses di luar negeri. Di antaranya, di Thailand,
Malaysia, Singapura, Amerika, dan Eropa. Dana juga didapatkan dari sumbangan
wajib yang diambil dari perusahaan-perusahaan lokal dan multinasional di Aceh.
Sebagai gambaran, tahun 2000 lalu, GAM meminta sumbangan wajib kepada seorang
pengusaha lokal bernama Tengku Abu Bakar sebesar Rp 100 juta. Abu Bakar diberi
surat berkop Neugara Atjeh-Sumatera tertanggal 15 Februari 2000 yang
ditandatangani oleh Panglima GAM Wilayah Aceh Rajek Tengku Tarzura. Mantan
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menyebut Pupuk Iskandar Muda pernah
menyetor Rp 10 milyar ke GAM untuk biaya keamanan. GAM kerap melakukan gangguan
bila tidak mendapatkan sumbangan wajib tersebut. Makanya, setiap bulan, GAM
mendapat upeti dari para pengusaha ''sahabat GAM'' itu. Sistem komunikasi GAM
juga sangat canggih. Sistem komunikasi berlapis dilakukan GAM sebagai benteng
pertahanan dan propaganda. Selain handytalky, GAM juga memiliki radio tranking,
radar dan telepon satelit. GAM juga memiliki penyadap telepon. Acap kali
gerakan TNI/Polri dimentahkan aksi-aksi penyadapan ini. Penggerebekan sering
kali gagal total. Sistem organisasinya yang disusun dengan sistem sel juga
membantu GAM survive. Tidak mudah menemukan markas GAM. Meski, ada sebagian
anggota GAM yang ditangkap. Antara anggota dan pejabat satu dengan yang lain
kadang tidak berhubungan, tidak saling mengenal. Ketua Umum Forum Perjuangan
dan Keadilan Rakyat Aceh (FOPKRA) Shalahuddin Al Fatah menuturkan, sejak zaman
Belanda, rakyat Aceh memang tidak pernah menang. Tetapi, rakyat Aceh tidak
pernah ditaklukkan. Fakta sejarah pula, gerakan rakyat Aceh menentang pusat
tidak pernah menang. Tetapi, TNI tidak pernah bisa menaklukkan mereka.
Sumber :
google.com
http://www.ikhwanesia.com/2012/01/sejarah-lahirnya-gam.html
1 komentar:
Casinos Near Casinos Near Casinos Near Casinos | MapyRO
Find the nearest casinos to Casinos near Casinos, 안동 출장마사지 with 동해 출장안마 locations set 계룡 출장마사지 precisely 30 minutes' drive from the 양주 출장안마 Strip. 출장마사지
Posting Komentar